Saturday, December 16, 2006

MIE AYAM

Ini kisah tentang "Bakul Mie Ayam" di Jakarta. Sebenarnya ini kisah nyata. Tetapi karena saya belum minta ijin kepada yang bersangkutan, maka saya terpaksa menggunakan nama samaran. Ini kisahnya.

Pada Mei 2000 saya merantau ke Jakarta. Semula saya tinggal di Condet. Hanya enam bulan di sana saya pindah ke Daerah Tanah Abang. Di sinilah saya mengenal seorang bakul mie ayam. Sebut saja namanya Arief.
Arief lulusan Madrasah Tsanawiyah di Kebumen, Jawa Tengah. Dia sudah menikah tetapi belum memiliki anak. Di Jakarta dia mengajar mengaji kepada anak-anak kecil di musholla dekat rumah. Kebetulan rumah kontrakan kami persis berhadap-hadapan.

Untuk menambah penghasilan dia berjualan mie ayam. Dia memiliki satu gerobag. Pagi hari sebelum adzan shubuh berkumandang dia telah mengayuh sepedanya ke pasar untuk berbelanja berbagai kebutuhan. Saat bertemu di masjid untuk shalat shubuh biasanya dia telah selesai berbelanja. Setelah itu kerja keras dimulai. Mengolah ayam, membuat kuah, membagi mie, menyiapkan kompor dan menata semuanya di gerobag. Tidak ketinggalan berbagai peralatan seperti mangkok, sumpit (ini temennya mie), sendok garpu, beberapa buah gelas dan beberapa botol air putih untuk pelanggan yang minta minum (gratis). Ada pula yang tidak boleh tertinggal yaitu kecap, saus, sambal dan acar. Sekitar jam delapan biasanya semua telah siap. Sesekali saya memesan untuk sarapan (ssst... tentu saja saya selalu dapat porsi lebih).

Ternyata masakannya enak. Sehingga dengan cepat dia memperoleh langganan. Belum lagi beranjak dari rumah beberapa mangkok telah terjual. Dia biasa mangkal di Bilangan Slipi. Setelah membuka dasar nanti akan ada orang yang datang untuk menitipkan dagangannya seperti krupuk, gorengan, kacang dan makanan kecil lainnya. Hal ini membuat warungnya jadi kelihatan lebih ramai.

Saat shalat Ashar dia sudah hadir lagi di masjid yang berarti dia sudah pulang dari Slipi. Biasanya dagangannya sudah habis terjual. Tapi bukan berarti dia sudah bisa beristirahat. Setelah shalat ashar tugas lain sudah menanti. Bersih-bersih. Mangkok, sendok garpu, sumpit, gelas, botol air minum, dandang untuk kuah, semua harus dibereskan. Gerobag juga harus dibersihkan. Sesekali gerobag itu harus dicuci. Tidak perlu waktu terlalu lama. Sekitar satu jam semua sudah selesai dan dia bisa beristirahat. Ini saat santai buatnya.

Suatu hari saya melihat dua gerobag di depan rumah. Satu gerobag saya kenali milik Arief dan satu lagi gerobag baru yang belum dicat. Ternyata Arief mau membuka cabang. Dia akan membuka lahan untuk berjualan di dekat rumah dan akan ditunggui oleh istrinya.
Tetapi belum lagi rencana ini berjalan seorang temannya, sebut saja Bari, datang. Dan rencanapun berubah. Apa yang terjadi ? Insya Allah kita lanjutkan di edisi mendatang.